BERITA

Tetanggaku, Saudaraku
Indonesia sejak dahulu telah mengenal sistem masyarakat yang bergotong royong, ramah, murah senyum dan bersahabat. Masyarakat Bali mengenal Subak, Maluku dengan Pela Gandong, Sumatera Barat lewat Masyarakat Nagari dan sebagainya. Kesemuanya itu merupakan sistem masyarakat dengan semangat kegotongroyongan, mengutamakan kerja sama antar anggota masyarakat, sikap saling menghormati dan membantu sesama tanpa pamrih. Itulah ciri khas masyarakat Indonesia. Tetapi, seiring perkembangan waktu (diwarnai arus teknologi yang semakin canggih) manusia  dimanjakan dengan fasilitas-fasilitas yang sifatnya individualis. Dengan demikian setiap orang semakin merasa dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain, tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Bahkan menjurus pada sikap ingin “menang sendiri” serta mengutamakan kepentingan diri sendiri (semakin egois).
Saat ini laju pertumbuhan penduduk cukup tinggi, membuat tingkat kebutuhan hidup semakin tinggi. Belum ada formula “jitu” untuk mengatasi persoalan tersebut. Untuk menekan sikap hidup egois bergantung pada kepribadian seseorang. Pribadi yang baik enggan bersikap egois dan tidak akan menjadikan tekanan hidup sebagai penyebab utama atas persoalan yang dirasa. Membentuk sikap hidup yang luhur dan tidak egois dapat dimulai dari lingkungan keluarga.

Keluarga adalah lembaga sosial terkecil dalam masyarakat, tempat seluruh anggota keluarga (orang tua, anak, kakek, nenek dan anggota yang lainnya). Keluarga terbentuk dari pasangan pengantin yang dianugerahi anak, lalu anak tersebut beranjak remaja, dewasa, hingga pada waktunya membentuk keluarga baru pula. Anak-anak yang membentuk keluarga baru tersebut kemudian berpisah dari orang tua dan memilih untuk tinggal di lingkungan baru. Benang merahnya, setiap keluarga pada saatnya akan berpisah satu sama lain dan menempuh kehidupannya masing-masing di tempat yang berbeda. Sementara tetangga kita relatif lebih lama dan sering kita jumpai di lingkungan tempat kita tinggal. Hal ini menandakan interaksi dengan tetangga lebih sering, dibandingkan berjumpa saudara. Tetangga dapat berperan sebagai saudara yang akan membantu ketika kita tertimpa kemalangan serta dalam sukacita sekalipun. Kita tidak boleh “cuek” dengan tetangga, karena mereka juga memiliki peran dalam kehidupan kita. Idealnya, keluarga harus menanamkan sikap peduli terhadap tetangga, dan tidak terlalu mencampuri urusan keluarga mereka.

Dengan memulai perkenalan antar keluarga dengan tetangga, akan menghasilkan hubungan harmonis serta membuat kehidupan menjadi lebih tentram dan nyaman. Sikap peduli terhadap tetangga merupakan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Hubungan bertetangga yang baik harus didasari sikap saling membutuhkan satu sama lain, tidak merasa lebih dibutuhkan karena lebih kaya, terpandang dan status sosial lebih tinggi. Hubungan persaudaraan hendaknya dibangun pula saat interaksi dengan tetangga.
Sudah sepantasnya sikap “cuek” dihindari, dengan lebih peduli, dan menjadikan mereka bagian dari solusi (jika terjadi masalah di lingkungan sekitar). Kita harus mengingat ketika kita mengalami persoalan, tetangga mampu menjadi penolong (diminta dan tidak diminta). Jika kita tidak memiliki hubungan yang harmonis dan hangat dengan tetangga, kita akan merasa malu dan canggung saat meminta pertolongan. Kita hendaknya menjadi tetangga yang baik dan membina hubungan persaudaraan yang erat satu sama lain. Kita tidak bisa menuntut supaya mereka baik, ramah, dan sopan terlebih dahulu kepada kita. Kita harus memulainya lebih dulu dan mereka akan merasa nyaman bertetangga dengan kita, sehingga terbina persaudaraan yang erat.
Tetanggaku Saudaraku
Hampir tak seorang pun yang tidak ingin hidup rukun dan harmonis dengan tetangganya. Hanya orang-orang yang hatinya sakit saja mungkin yang menolak suasana hubungan harmonis itu. Sudahkah kita sadari, bahwa kekuatan sendi-sendi sosial suatu masyarakat, sangat ditentukan oleh keharmonisan hubungan antar warganya? Islam sangat memperhatikan masalah adab-adab bertetangga. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah mengingatkan Fatimah dengan keras agar segera memberikan tetangga mereka apa yang menjadi hak-hak mereka. Kisahnya berawal ketika Rasulullah saw pulang dari bepergian. Beberapa meter menjelang rumahnya, Rasulullah saw mencium aroma gulai kambing yang terbit dari rumah beliau. Rasul segera bergegas menuju ke rumahnya dan menemui Fatimah yang ternyata memang sedang memasak gulai kambing. Spontan Rasulullah saw memerintahkan putri tercinta beliau untuk memperbanyak kuah gulai yang sedang dimasaknya. “Wahai Fatimah, perbanyak kuahnya, dan bagi-bagikanlah kepada tetangga-tetangga kita. Sebab aku telah mencium gulai masakanmu sebelum langkahku sampai ke rumah,” ujar beliau pada putrinya.
Dari kisah di atas bisa kita ambil kesimpulan, bahwa penghormatan kepada tetangga dan sekaligus menjadi hak mereka adalah, membagi-bagikan makanan jika tetangga kita telah mengetahui, mendengar, atau mencium aroma makanan yang kita miliki. Ini merupakan salah satu bentuk kepedulian sosial yang diperintahkan Islam kepada kita. Islam memerintahkan kepada kita untuk senantiasa mempertajam sense of social kita.Ibroh (pelajaran) dari kisah di atas sekali lagi menegaskan, betapa Islam mengajarkan kita untuk senantiasa membiasakan diri merasakan kesenangan dan kesulitan bersama-sama dengan masyarakat kita. Artinya Islam sangat melarang kita hidup egois, serakah, dan individualistik. Dalam pesan yang lain, Rasulullah saw mengatakan; “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia menghormati tetangganya.”Peduli kepada tetangga, memang bukan perkara ringan. Ia merupakan tonggak keimanan seseorang pada Allah dan hari akhir. Dengan kata lain, lurusnya iman seseorang memang sangat ditentukan sejauh mana penghormatan orang itu pada tetangganya. Ada beberapa hal yang patut diperhatikan, menyangkut perkara penghormatan pada tetangga.
1. Mendakwahkan tetangga kita. Caranya bisa dengan pendekatan fardiyah (pribadi). Atau dengan kiat-kiat lain secara kolektif. Membentuk majelis pengajian RT pekanan atau bulanan, atau pengajian yang disisipkan pada acara-acara pertemuan rutin warga. Dengan demikian, kredibilitas kepribadian kita harus betul-betul diakui oleh masyarakat lingkungan kita.
2. Mengunjunginya bila ia sakit atau dalam kesulitan ekonomi. Tak usah menunggu tetangga kita yang sedang mengalami kesulitan ekonomi misalnya, datang kepada kita untuk meminjam uang. Sebaiknya, kitalah yang pro aktif menanyakan, apakah ia butuh pertolongan kita?
3. Memberi hadiah atau kiriman makanan pada tetangga kita. Baik bersifat spontan, atau kita mensetting waktu pemberian itu pada hari atau moment-moment tertentu.
4. Membiasakan anak-anak menabung yang dananya untuk membantu tetangga-tetangga yang kesulitan. Caranya dengan membuatkan masing-masing anak kita sebuah kotak tabungan yang sederhana. 5. Menjaga kehormatannya, yakni dengan cara tidak menggunjingnya. Lalu berupaya jangan sampai tidak bertegur-sapa

Info Usaha Online

Untuk Pemasangan Iklan, informasi usaha dan menjual barang dalam bentuk apapun.

Syaratnya & Caranya :

- HALAL

- Mengisi Formulir "Jual Barang"

- Kirim ke : Media7@yahoo.com